Kios Cukur Hoki
Kamis, 20 Juli 2023 12:21 WIBLangkahku terhenti tatkala aku melihat sebuah kios aneh. Dari penampilannya, ia cukup kontras dengan bangunan ruko lain di sampingnya. Aku jadi penasaran, lalu berjalan mendekatinya. Ada magnet yang cukup kuat dari sana yang menarik perhatianku.
Bagi seorang penulis, inspirasi adalah sebuah hal yang sangat berharga bak harta karun. Karena tanpa itu, maka ia tak ada bahan untuk karya tulisnya. Macetnya inspirasi, itu sudah serupa kiamat baginya.
Itulah yang kualami juga. Akhir-akhir ini aku mengalami blok kreatif, sehingga tak mampu menuliskan apapun. Jangankan satu tulisan yang bagus dan utuh, menuliskan beberapa kata saja susahnya minta ampun. Akhirnya aku menyerah. Mencoba mengistirahatkan kegiatan menulis barang sejenak.
Menurut anjuran-anjuran dari ilmu kepenulisan yang sudah aku pelajari dan juga anjuran dari penulis-penulis yang sudah senior, blok kreatif atau writer block adalah hal yang wajar dan tidak perlu ditakutkan. Itu hanya pertanda bahwa otak mengalami kelelahan dan sebuah sinyal untuk mengistirahatkannya barang sejenak. Masalah itu tidak hanya dialami oleh penulis amatir sepertiku, tapi penulis senior yang sudah punya banyak karya buku pun bisa mengalaminya.
Kata mereka pula, blok kreatif bisa diatasi dengan mengistirahatkan sejenak otak dari kerja kerasnya. Bisa dengan melakukan hobi lain, misal berkebun, mendengarkan musik, menonton film, atau refreshing ke suatu tempat.
Namun, kali ini aku memilih untuk berjalan-jalan santai saja di kawasan ruko tak jauh dari tempat tinggalku. Kebetulan siang tadi habis hujan deras, sehingga aku bisa sekalian menghirup aroma petrikor yang menenangkan.
Ruko-ruko ini terdiri dari bangunan-bangunan lawas khas jaman Belanda. Terkesan kokoh dan artistik. Itu makanya kawasan ini disebut banyak orang dengan nama kota lawas.
Meskipun aku orang sini, tapi jujur saja, aku jarang berkunjung ke sini. Seingatku hanya waktu kecil, karena menurutku di sini harga barangnya mahal-mahal, tentu tidak cukup ramah di kantongku yang tidak sultan ini.
Aku terus saja berjalan dengan santai sembari menikmati suasana sekitar. Ada cukup banyak pedagang kaki lima berjualan di area trotoar yang seharusnya tidak boleh buat jualan itu. Aku tersenyum kecil, mencoba mengamati, bagiku mereka adalah orang-orang marjinal yang cukup tangguh, meski harus kucing-kucingan dengan aparat, mereka tetap nekat berjualan, seolah ancaman dan rasa tidak tenang adalah kawan karib mereka sendiri.
Langkahku terhenti tatkala aku melihat sebuah kios aneh. Dari penampilannya, ia cukup kontras dengan bangunan ruko lain di sampingnya.
Aku jadi penasaran, lalu berjalan mendekatinya. Ada magnet yang cukup kuat dari sana yang menarik perhatianku.
Setelah dekat aku baru tahu bahwa itu adalah sebuah kios cukur, di depan kaca ada sebuah tulisan, "Kios Cukur Hoki: Dapatkan Keberuntungan di Sini."
Aku mengernyitkan dahi sebentar. Nama yang unik!
Makin besarlah rasa penasaranku tatkala aku melongok ke dalam kios itu dan menjumpai keadaan di dalamnya. Ternyata sangat kontras sekali pemandangannya.
Di dalam kios tampak mewah sekali. Banyak perabotan kuno yang berbau China. Guci-guci keramik bermacam ukuran terpajang di berbagai sudut. Ada dupa yang tengah dibakar di dekat pintu masuk. Ada juga patung-patung yang entah aku tidak tahu itu patung apa. Lalu ada lampion merah membara tergantung di sudut-sudut atas kios.
Ini bukan seperti kios cukur, tapi serupa kuil untuk persembahyangam orang China, batinku.
"Wah, ada tamu rupanya. Ayo. Ayo. Silahkan, Nak." Suara kakek berwajah bersih dan berkaos putih membuyarkan pengamatanku.
"Ini kios cukur, kan, Kek?" tanyaku kemudian untuk memastikan. Aku hanya takut saja kalau salah. Sebab suasana luar dan dalam sangat tidak nyambung.
"Ya iya, apalagi kalau bukan kios cukur. Di depan, kan, sudah ada tulisannya. Bagaimana kamu ini," jawab Pak Tua berambut putih dan dengan logat Tionghoa yang cukup kental.
Rasa heranku semakin meningkat ketika menyadari bahwa wajah kakek itu masih terlihat cukup muda, seperti tidak nyambung dengan rambut putih dikepalanya.
"Eh, malah bengong, ayo, sini segera duduk." Kakek tua itu berkata lagi.
Sebenarnya aku tidak berniat cukur rambut, hanya penasaran saja, tapi karena sudah kepergok dan disambut dengan ramah sedemikian rupa, rasa tak enak menghinggapi juga.
Mau tak mau aku mengiyakan saja ajakan Singkek itu.
Kursi yang ditunjukkan agar aku duduk itu sederhana saja, tapi terlihat mewah. Di depannya terpampang cermin segi 8 bertepi ular naga melingkar berwarna emas. Kelihatan elegan dan menawan.
Di tiang-tiang rumah terdapat gambar bermacam shio dengan warna yang cerah. Temboknya dominan berwarna merah membara.
Lampion-lampion berpendar teduh di dalam. Mengasumsikan cahaya yang lembut si mata. Sedangkan aroma hio merebak lembut menimbulkan sensasi yang rileks, menenangkan.
"Oh, iya silahkan pilih modelnya, Nak. Ini daftar modelnya," ujarnya menyodorkan sebuah buku besar bersampul merah yang cukup tebal.
Aku mengernyitkan kening lagi. Aneh juga, baru kali ini aku pergi ke kios cukur disodori seperti menu makan di restoran. Tapi aku tetap menerima buku itu. Aku kemudian membukanya dan lihat-lihat.
Aku makin tidak mengerti ketika melihat nama-nama dari jenis gaya rambut yang tertera di buku itu. Ada banyak sekali jenis model. Aku lihat sampai akhir ada ribuan model. Salah satunya ada model rambut hoki berdagang ikan. Ada model rambut hoki jabatan politik. Ada model rambut hoki pasangan. Ada model rambut hoki restoran makanan. Dan masih banyak lagi. Rasanya seperti semua harapan-harapan manusia ada di buku ini.
Sekilas aku teringat tentang kegelisahanku akhir-akhir ini tentang blok ide. Iseng aku bertanya.
"Kalau hoki agar ide-ide kreatif selalu lancar apakah ada, Kek? Aku seorang penulis dan kebetulan sedang mengalami kemacetan ide," kataku dengan ekspresi yang sebenarnya tak yakin bakal ada model rambut hoki seperti itu.
"Oh. Itu. Jelas ada, Nak. Ada. Coba buka di model nomor 256, kayaknya itu modelnya," kata Kakek itu sembari mempersiapkan segala perlengkapan cukur.
Aku mencoba melihat buku lagi dan mencari nomor 256. Astaga! Benar! Di sana tertera model rambut hoki agar ide mengalir dalam menulis.
Aku geleng-geleng seperti tak percaya, tapi aku lihat tulisan itu tetap nyata.
Tak sadar aku tersenyum. Antara rasa percaya dan tidak. Tapi kemudian aku berkata juga.
"Baiklah, Kek. Potong model rambutku dengan model 256 itu, ya," ujarku pelan sembari menutup buku tebal itu dan menyerahkannya kepada Kakek.
Aku dengar kakek itu mengekeh pelan, seolah sudah tahu apa yang akan ia kerjakan.
Lalu ia membungkus tubuhku dengan kain merah. Ini aneh juga. Biasanya kain pelindung agar tidak terkena bekas cukur itu berwarna hitam, tapi di sini merah. Ah, bodo amat, yang penting aku bisa cukur, batinku.
Akhirnya Kakek itu mulai bekerja. Menggunting rambutku secara bertahap. Tekniknya masih dengan cara lama, tidak ada mesin sama sekali di sini.
Sambil menunggu Singkek itu menyelesaikan pekerjaannya, aku ingin mengajaknya bercakap-cakap, sekalian menanyakan hal-hal yang menurutku aneh.
"Kek, aku tinggal tak jauh dari sini tapi kok aku baru lihat kios Kakek, ya? Apakah ini kios baru?"
Kakek itu malah mengekeh lagi. Suara tawanya juga khas sekali, gabungan suara akan tersedak dan serak. Entah aku susah untuk menggambarkannya.
"Kamu saja yang baru lihat, Nak. Lha saya sudah buka lama sekali sejak ruko ini ada, kok."
"Sudah lama? Sudah dari jaman Belanda?" tanyaku tak yakin. Sebab ruko ini memanglah dibangun saat Belanda masih menguasai negeri ini.
"Ya, iya, dari jaman Londo," tukasnya.
Sambil menggunting ia melanjutkan, "Ini kios turun temurun. Kakek keturunan yang ke 5. Hebat bukan?"
"Tapi kok nggak seperti kios cukur pada umumnya, ya, Kek. Saya kira bukan kios cukur tadi. Soalnya di luar kusam begitu tapi di dalam mewah sekali," cerocosku.
"Ya begitulah seharusnya manusia, Nak. Seharusnya seperti itu," timpalnya.
"Maksudnya, Kek?"
"Ya maksudnya yang penting mewah itu di dalamnya. Luar sederhana saja. Nggak usah mencolok. Jangan malah dibolak-balik."
Aku mengangguk-angguk mencoba mencerna. Meski jujur saja nggak paham juga maksudnya.
Akhirnya setelah kurang lebih 20 menit, Kakek itu selesai mencukur rambutku. Aku melihat ke cermin sekilas. Benar. Wajahku tampak lebih fresh di cermin. Dan aku rasanya belum pernah cukur model rambut begini. Aku tersenyum dan puas.
Usai membayar yang ternyata harganya sangat murah itu aku segera pamit.
"Semoga potongan rambutnya membawa hoki yang kamu mau, ya," ujarnya sambil tersenyum khas."
Aku tak begitu percaya, tapi tetap mengamini doanya sebagai bentuk penghargaan saja.
Setelah berbasa-basi sebentar, aku pun pulang.
***
Aku tidak menyangka bahwa doa Kakek itu terwujud. Setelah sebulan yang lalu aku cukur di kiosnya, aku seperti diserbu ide-ide yang tidak bisa aku bendung. Bahkan aku sampai kewalahan dalam menuliskannya. Rasanya seperti kran dalam kepalaku ini terbuka dan tersiram hujan ide yang tak kunjung mereda. Tentu aku sangat senang sebab itu berarti pertanda baik buatku.
Setelah sebulan aku sibuk, aku baru ingat lagi kepada Kakek tua itu.
Sore ini aku ingin mengunjunginya, selain ingin potong lagi karena rambut mulai memanjang, aku ingin menghadiahkan sebuah kenang-kenangan buatnya, sekedar rasa terima kasihku kepadanya, karena berkatnya banyak dari ceritaku dimuat di media-media besar dan tentu cuan juga lancar.
Aku melangkah perlahan di area ruko berarsitektur kuno itu. Celingukan ke sana sini, mencoba mengingat-ingat di mana lokasi kios cukur kakek itu bertinggal. Tapi hampir satu jam aku berputar-putar, tak kunjung aku menemukannya.
Aku bertanya ke sana-ke mari, tapi tak ada yang tahu menahu soal kios cukur itu, bahkan malah ada yang mengira aku mengada-ada.
Aku terus mencari dan mencoba mengingat-ingat sampai aku berhenti di titik yang kiranya menurutku adalah depan tempat kios yang sebulan lalu kumasuki. Tapi yang terlihat bukanlah sebuah kios cukur, tapi sebuah bangunan dengan cungkup kecil berornamen China.
Aku mendekat. Sepertinya memang itu, batinku. Aku berpikir mungkin kios sudah dipugar dan pindah entah ke mana.
Aku hampiri tempat itu lebih dekat.
Tapi memang hanya bangunan kecil saja. Ukurannya luasnya hanya sekitar dua meteran, terjepit diantara ruko-ruko samping yang lebih besar dan tinggi.
Kebetulan di sampingnya ada sebuah kedai roti yang cukup luas, di depan ada seorang tukang parkir. Aku berniat bertanya.
"Maaf, Pak, numpang tanya sebentar. Yang itu tempat apa?" tanyaku kepada tukang parkir.
"Oh, itu kuburan, Mas. Milik orang China kayaknya. Udah lama juga itu, sejak jaman dulu," katanya ringan seperti tak ada beban.
***
Tamat.
Penulis Indonesiana
0 Pengikut
Pahlawan
Rabu, 19 Juli 2023 14:49 WIBNggak Bahaya, Ta?
Rabu, 19 Juli 2023 14:49 WIBBaca Juga
Artikel Terpopuler