Ketika Rumah Bukan Lagi Kata yang Tepat
Jumat, 14 Oktober 2022 08:01 WIB
Pada hakikatnya, manusia ibarat merpati bersayap putih. Dia belajar perlahan di sarangnya dengan tertatih-tatih, agar bisa terbang bebas menembus fantasi. Layaknya merpati yang mencari jati diri, ia akan terus mengepakkan sayapnya, mengikuti arah angin, dan menuruti kata hati. Dan benarlah kata sesepuh di desa kami, ia akan terus mencoba dan mencoba, sampai akhirnya terbang bebas dilangit.
Menyusuri seluk-beluk bumi, dari gerbang megah Kota Paris yang fantastis, hingga ujung jalan setapak yang sempit. Semua tak luput dari jejak bulu putih indahnya. Pergi kesana-kemari, bertemu teman yang baru, merintis petualangan yang epik, dan mungkin, menulis manis-pahit kisah cinta yang sejati.
Namun, apakah yang akan terjadi pada burung tersebut jika perjalanannya melintasi tujuh samudra telah usai?. Ketika seluruh penjuru bumi telah mengagung-agungkan perjuangannya yang dari zero to hero. Ketika semerbak harum namanya terus terbisik dari satu telinga ke yang lain. Ribuan halaman buku yang mengabadikan manisnya kisah cinta penuh komedi yang dia ukir. Tak ada satupun insan yang bernafas tak hafal dengan gelar-gelarnya yang tercantum panjang di belakang namanya. Lengkap sudah semesta memberikan nikmat duniawi baginya. “Lalu sekarang, apa?” gumamnya.
Yap, sekarang apa?.
Sang Merpati telah berkepala enam. Sayapnya yang tadinya putih bersih tanpa noda. Sekarang rapuh runtuh penuh dosa.
Merpati itu sudah lelah.
Ia dimainkan oleh fananya dunia.
Lelah, putus harapan, tanpa tujuan.
Sang Merpati sudah mencapai ujung dunia, sekaligus akhir dari petualangan panjangnya. Umur telah memaksanya untuk berhenti. Waktu memaksanya untuk menutup buku perjalanan panjangnya.
Tak ada lagi yang bisa dicari, waktu mudanya ia habiskan untuk berkelana. Sekarang ia harus menghabiskan masa tuanya berteman sepi. Istrinya sudah meninggalkannya sendiri. Hanya bisa melihat di negara-negara nan jauh disana, anak-anaknya sudah dewasa dan melanjutkan kisah petualangannya dulu.
Sedih, Hampa, Kosong.
Seakan ia tak pernah bahagia.
Lalu, barulah ia tersadar..
---
Bahwasanya, ia bukanlah satu satunya burung yang mencapai angkasa.
Bahwasanya, ia bukanlah satu satunya burung yang dihormati.
Bahwasanya, ia bukanlah satu satunya burung yang berbakat.
Bahwasanya, banyak burung-burung lain yang ditakdirkan dengan megah
Yang dilahirkan untuk menjadi bintang baru dunia.
Namanya sudah bukan jadi “top trending topic” di buletin berita, bukan lagi jadi pembicaraan di channel-channel para artis, bukan lagi jadi objek perbandingan seorang ibu kepada anaknya.
Sosoknya tenggelam dimakan masa, jiwa-jiwa muda mulai melupakan jasanya, masyarakat kontemporen hanya menjadikannya sebatas sejarah tertulis di kitab-kitab lama, dijadikannya dongeng-dongeng sajak kuno yang diceritakan seorang nenek bertudung abu ke cucu-cucunya.
Dia sendirian, terdiam seribu kata di tengah masyarakat. Dulunya orang-orang akan sahut-menyahut memuji namanya, sekarang dia sudah tidak lebih berharga dari seonggok kertas. Tak seorang pun mengingat namanya kecuali penjaga perpustakaan paruh baya di ujung desa lama.
Disaat seperti inilah ia belajar.
Mungkin baginya, dunia adalah tentang dirinya.
Namun nelangsanya, dunia tak selalu tentangnya.
Pahit memang, namun begitulah tali aksara kehidupan.
Tertulis ‘tuk tidak selalu jadi indah.
Karena mencari pujian dari lisan manusia.
Bak mencari buih di lautan.
Memang banyak dan mudah didapat.
Namun, adakalanya jika kita menyelam terlalu dalam.
Kita akan tenggelam dan kehilangan segalanya.
---
Maka, perumpamaan ini tak jauh dari manusia.
Karena, apabila kamu mati, sudikah mereka mengingatmu?.
Setelah perjuanganmu siang-malam.
Toh cuma jadi hiasan bagi dunia.
Mereka tak dapat membantumu, baik disaat maut menjemput.
Maupun menjadi penolong di Hari Tanpa Esok.
Apakah kamu mau, apa yang kamu perjuangkan, apa yang kamu korbankan, hanya menjadi santapan lezat bagi para rayap waktu?
---
Karena.
Pada hakikatnya memang begitu.
Kamu, sudah terlalu jauh.
Terlalu jauh dari apa-apa yang menjadi batasanmu.
Kalaupun di tempat nan jauh disana kamu berhasil menjadi bintang.
Tak selamanya kamu bisa bersinar.
Karena, sang mentari pun kan tunduk pada takdirnya.
Menjadi redup dan hampa.
Tak berharga, tak bernilai.
--
Namun, jikalau kamu tak tahu harus kemana kau berlabuh.
Menghadapi dunia yang jadi mendingin dan kejam.
Maka, dekatkanlah telingamu ke di sisi bibirku.
Kubisikkan apa yang menjadi jalan keluar segala kesulitan.
“Pulanglah’’...
Iya, pulanglah.
Kembalilah ke tempat kamu berawal.
Awal dari perjalananmu.
Dan kelak jadi peristirahatan terakhirmu.
Suatu tempat yang seharusnya kamu berada.
Karena Sang Pemilik, sudah menunggumu disana.
Disaat dunia sudah melupakanmu.
Dia tetap disana, menunggu kamu kembali.
Karena.
“Dunia ini memang kejam, tetapi Dia tetap mencintaimu“.
---
Yang sebelumnya dengan bodohnya kau anggap Ia hanyalah dongeng semata.
Namun, sosok-Nya Yang Maha Pengasih, menuntunmu kembali kesana.
Ke suatu tempat penuh dengan jawaban
Jawaban dari sebuah makna.
Makna dari perjalanan duniawimu.
Makna dari perkelanaan tanpa batas.
Makna dari kebahagiaan.
Makna dari kehidupan.
---
Seorang yang bijak pernah berkata:
-“Karena, segala sesuatu akan kembali ke muaranya. Sebagaimana air, yang selalu kembali ke laut. Sebagaimana pohon, yang akan selalu kembali ke akarnya. Dan sebagaimana manusia-manusia seperti kita inilah, yang akan kembali ke Sang Pencipta”-
كُلُّ نَفْسٍ ذَاۤىِٕقَةُ الْمَوْتِۗ وَنَبْلُوْكُمْ بِالشَّرِّ وَالْخَيْرِ فِتْنَةً ۗوَاِلَيْنَا تُرْجَعُوْنَ
“Setiap yang bernyawa akan merasakan mati. Kami akan menguji kamu dengan keburukan dan kebaikan sebagai cobaan. Dan kamu akan dikembalikan hanya kepada Kami.”
----
Oleh karena itu, kembalilah ke tempat seharusnya kamu berlabuh.
Yang bahkan Rumah bukanlah lagi kata yang tepat.
Yaitu di Sisi Wajah Tuhanmu, Tuhanku, dan Tuhan kita semua.
Penulis Indonesiana
0 Pengikut
Si Rela dan Sabar
Kamis, 26 Januari 2023 17:12 WIBAkhir yang Indah dari Sikap Ikhlas.
Rabu, 25 Januari 2023 13:47 WIBBaca Juga
Artikel Terpopuler