Juli 2022, Indonesia Adakan Pertemuan dengan Negara G7 di Bali
Selasa, 17 Mei 2022 13:19 WIBIndonesia sebagai presidensi G20, pada bulan Juli 2022 akan menggelar pertemuan Dengan anggota G7, di Bali, Indonesia. Guna membahas berbagai isu global yang terjadi, diantaranya masalah Rusia dan Ukraina.
Kemelut Perang Rusia-Ukraina sejak 24 Februari 2022, telah berdampak pada ketahanan pangan dan meningkatnya harga sejumlah kebutuhan lainnya. Masalah ini telah dirasakan oleh sejumlah negara berkembang, dan perlu mendapat perhatian, untuk mengatasinya, melalui musyawarah.
Untuk pertemuan dengan anggota G7, di Bali. Menteri Luar Negeri RI Retno Marsudi sebagai Sekretaris presidensi G20 dan koordinator kemitraan ASEAN, telah menyampaikan surat undangan kepada Menlu G7 dan para anggotanya, untuk hadir dalam acara pertemuan G20 di Bali, Indonesia, pada bulan Juli 2022.
“Acara pertemuan G20 dengan para anggota G7 di Bali itu telah dijadwalkan, pada bulan Juli 2022 mendatang. Surat undangan itu disampaikan pada Menlu G7, pada saat rapat pertemuan daring, para anggota G7, beberapa waktu yang lalu,” kata Menteri Luar Negeri RI, Retno Marsudi, pada hari Sabtu kemarin (14/05/2022) di Jakarta.
Upaya yang dilakukan Menteri Luar Negeri RI, Retno Marsudi. Untuk melakukan pertemuan G20 dengan G7, terkait akan diluncurkannya ketentuan Indo-Pacific Economic Partnership (IPEF), pada waktu pendatang. “ Indonesia berharap, agar IPEF dapat saling sinergi dengan implementasi kerja sama dalam ASEAN Oulook on the Indo-Pacific (AOIP),” kata Retno.
Sebelumnya, Menteri Luar Negeri RI, Retno Marsudi juga telah melakukan pertemuan bilateral dengan Menlu AS, Anthony Blinken. Terkait rencana pertemuan G20 dengan para anggota G7 di Bali. Dalam diskusinya Menlu AS, Anthony Blinken memuji Indonesia sebagai presidensi G20 dan koordinator kemitraan ASEAN.
Dalam diskusi itu Blinken juga menyatakan, AS mendukung kepemimpinan Indonesia, dalam upaya menjalin kemitraan, baik sebagai koordinator kemitraan ASEAN, mapun sebagai Presidensi G20, untuk menciptakan kerukunan antar negara.
Sejumlah negara Kelompok G7 dan para anggota G20 juga mengharapkan peran serta Indonesia, untuk mengupayakan perdamaian, atas konflik yang terjadi antara Rusia-Ukraina, hingga ketingkat Perserikatan Bangsa Bangsa (PBB), agar negara Asean tidak terpecah belah. Selain untuk mengatasi isu kelangkaan dan harga pangan yang tinggi, dapat mengganggu stabilitas ekonomo dunia.
“Kita upayakan, agar isu kelangkaan dan tinggi harga pangan, serta sanksi ekspor- impor barang dari Rusia tidak terjadi. Karena dampaknya berpengaruh pada perekonomian dunia, dari itu anggota G20 dan G7 perlu duduk bersama, untuk melakukan musyawarah. Guna mencapai satu suara (Sepakat),” kata Retno.
Diprediksikan, hampir semua negara, baik dari anggota G20, maupun dari G7, besar kemungkinan ada kepentingan dengan kedua negara itu (Rusia - Ukraina), khususnya bahan pangan, dan untuk kepentingan industri lainnya. Seperti Gandum dan Bahan Bakar Minyak dan Gas Bumi (BBM) ataupun Bahan Minyak dan Gas bumi (BMG).
Untuk itu, konflik antar kedua negara tersebut (Rusia- Ukraina), perlu dicarikan solusinya, agar ada kesepakatan damai. Kalau dibiarkan berlanjut, dikhawatirkan akan menarik negara-negara lainnya terlibat dalam konflik. Akhirnya mengancam perkembangan ekonomi dunia, khususnya bagai negara berkembang.
Konflik Rusia- Ukraina berawal dari ego sektoral. Ukraina selalu mengumandangkan negaranya mau bergabung dengan Nato, dan Rusia selalu melarangnya. Dengan dalih alasan masing-masing. Akhirnya, pada hari Kamis, 24 Februari 2022 Presiden Vladimir Putin mengerahkan Pasukan Rusia untuk menginvasi Ukraina.
Hampir tiga bulan berjalan, Pasukan Rusia menginvasi Ukraina. Menimbulkan dampak pada perekonomian dunia, karena bahan pangan berupa Gandum dan Bahan Bakar Minyak dan Gas Bumi (BBM) ataupun Bahan Minyak dan Gas bumi (BMG) dari kedua negara sulit dikeluarkan. Akibat rusaknya prasarana Ukraina, karena gempuran senjata Rusia, bahan industri BBM dan BMG Rusia diembargo oleh AS, salahsatu Ketua Nato.
Terkait rencana Swedia dan Finlandia untuk bergabung dengan NATO, nampaknya tidak berjalan mulus. Presiden Turki, Recep Tayyip Erdogan dalam Pernyataan mengatakan bahwa Turki tidak setuju dengan rencana Swedia dan Finlandia untuk bergabung dengan NATO. hal itu dikatakan Erdogan kepada wartawan, sebagaimana dikutip Associated Press, Jumat (13/5/2022).
Alasan penolakan Erdogan, terkait isu adanya dugaan Swedia dan negara Skandinavia ikut mendukung gerakan kelompok militan Partai Buruh Kurdistan (PBK) yang dianggap Turki sebagai organisasi teroris. Dugaan itu ada hubungannya dengan enam tokoh Kurdi yang menduduki kursi parlemen Swedia.
Erdogan juga mengatakan bahwa Turki tidak ingin mengulangi kesalahan yang sama. “Negara Skandinavia seperti rumah bagi organisasi teroris, bahkan mempunyai kursi di parlemen," kata Erdogan menganggap Yunani menggunakan NATO untuk melawan Turki, sebagaimana dikutip The Guardian, Associated Press.
Prinsip Turki ini dianggap dapat menjadi batu sandungan Finlandia dan Swedia untuk masuk dalam keanggotaan NATO. Karena, untuk menjadi anggota NATO, memerlukan persetujuan dari 30 negara anggota NATO. Turki, merupakan salah satu dari 30 anggota NATO, kalau ia memakai hak vetonya, maka usaha Swedia dan Finlandia untuk bergabung ke NATO, bisa gagal.
Sementara itu, Amerika Serikat (AS) juga menginginka konflik Rusia- Ukraina dapat segra diakhiri. Pada hari Jumat (13/05/2022) Menteri Pertahanan Amerika Serikat, Lloyd Austin, menghubungi Menteri Pertahanan Rusia Sergey Shoigu. Dalam percakapan via telepon itu, Austin disebut meminta Rusia untuk melakukan gencatan senjata dalam perang Ukraina, dan membuka jalur komunikasi.
Dalam berita yang dirilis media Rusia (Tass) itu menyebutkan, gencatan senjata dianggap perlu dilakukan oleh kedua pihak (Rusia- Ukraina), demi masalah keamanan internasional, mengingat keadaan dan situasi pangan, akibat dari konflik kedua negara itu menimbulkan dampak global, bagi pertumbuhan ekonomi secara internasional, khususnya pada negara berkembang.
Selain Menteri Pertahanan AS. Kanselir Jerman, Olaf Scholz, pada hari yang sama juga melakukan pembicaraan selama 75 menit dengan Presiden Rusia Vladimir Putin, via telepon. Sebagaimana dikutip Deutsche, Scholz mendesak Putin untuk menyetujui gencatan senjata di Ukraina sesegera mungkin.
Putin, dalam tanggapannya mengatakan kepada Scholz, upaya damai dalam konflik di Ukraina pada dasarnya diblokir oleh pemerintah Kiev. Selain itu Putin juga mengungkapkan rasa kekecewaannya dan mengatakan bahwa Moskow telah memerangi ideologi Nazi di Ukraina. Kanselir Jerman, dalam menanggapi ucapan Putin dengan dewasa. “Anggapan Itu salah, tidak benar,” kata Scholz, untuk melunakkan hati Putin.***
Penulis Indonesiana
0 Pengikut
Permenaker Nomor 18 Digugat 9 Pengusaha ke MK
Sabtu, 10 Desember 2022 08:21 WIBSerikat Petani Menolak Rencana Impor Beras 2023
Selasa, 29 November 2022 17:30 WIBBaca Juga
Artikel Terpopuler