Perempuan dan Perempuan
Rabu, 8 Desember 2021 10:18 WIBKisah ini tentang perempuan yang kuat. Perempuan yang tak menyerah pada stigma. Perempuan yang tak mau dikalahkan oleh keadaan. Mereka kuat karena mereka perempuan.
[1]
”Bas memukulku lagi sore tadi,” bisik Vin lirih ditingkahi isak tangisnya yang menderas sederas hujan malam itu.
”Kamu ingin kami bagaimana?” tanya Lia setelah beberapa saat hanya tangisan Vin yang terdengar memilukan suasana. Aku dan San menghela napas panjang, khawatir Lia akan meluapkan kekesalannya terhadap Vin seperti saat Bas melakukan hal yang sama berminggu lalu.
”Bukankah sudah sering kami membuang kata dengan percuma di hadapanmu? Tapi, kamu tak pernah mau mendengarkan kami. Di matamu Bas adalah lelaki sempurna, ketua OSIS, aktivis ekskul Jurnalistik, dan entah apa lagi,” sambung Lia kini berapi-api, ”Jadi mengapa mengeluh?”
Lia adalah yang paling tua di antara kami semua. Usianya akan genap 17 tahun sebulan lagi. Walau orang berkata bahwa usia tidak menentukan kedewasaan, tapi ia bahkan menunjukkan sikap dewasa yang jauh melampaui remaja lain seusianya. Berkali-kali sudah kedewasaan dan kematangan cara berpikirnya berhasil meloloskan kami dari berbagai masalah pelik. Maka, tak berlebihan rasanya jika ia yang kemudian kami anggap sebagai pemimpin.
Lia memang keras. Kurasa sikap keras Lia sedikit banyak dipengaruhi oleh perlakuan yang diterimanya sedari kecil. Ayahnya adalah seorang perwira menengah TNI AD, sedangkan ibunya bertugas sebagai anggota polisi. Mereka sebenarnya sangat mendamba kehadiran anak laki-laki. Namun, ternyata anak satu-satunya, yang terlahir setelah belasan tahun berumah tangga, berjenis kelamin perempuan. Maka, Lia diperlakukan tak ubahnya anak laki-laki. Ia memang tidak dilarang bergaul dengan aku, Vin, dan San, tetapi ayahnya selalu marah besar jika mendapati Lia bermain boneka atau rumah-rumahan bersama kami.
Masih ada San. Ia terlahir dalam keluarga peranakan Tionghoa. Ayahnya yang etnis Tionghoa sejak lama membuka sebuah toko kelontong tak jauh dari rumah kami. Sedangkan ibunya adalah perempuan Jawa kelahiran Sukabumi yang menghabiskan seluruh waktu di rumah, mengabdikan diri bagi keluarganya. Aku masih ingat benar betapa seringnya kami menghabiskan waktu di rumah San, karena ibunya begitu ramah dan pemurah. Tak banyak yang bisa kuceritakan tentangnya, karena memang hanya sedikit yang dibaginya dengan kami.
Vin, aku sama sekali tak lupa padanya. Ia yang termuda, sekaligus paling cengeng di antara kami semua. Usianya belum lagi genap 15 tahun dan seingatku setiap hari selalu saja ada yang membuatnya meneteskan air mata. Suatu ketika, ia bisa menangis karena rumpun mawar di halaman rumahnya tanpa sengaja rusak oleh mesin pemotong rumput milik ayahnya. Di kali lain, ia akan menangis sebab kami lupa mengirimkan pesan singkat padanya untuk sekadar mengucapkan selamat malam.
Kami sebenarnya agak khawatir saat tiga bulan lalu Bas meminta Vin menjadi kekasihnya. Bas memang pujaan hampir semua gadis di SMA Bunda Pengasih, namun ia sama sekali bukan laki-laki yang baik. Bukan sekali kami mendengar tentang kekecewaan mantan-mantan kekasih Bas yang dicampakkan setelah berpacaran hanya dalam hitungan minggu. Kami hanya tak ingin Vin bernasib sama, terlalu banyak menabur harapan untuk kemudian menanti tiba saatnya menuai kekecewaan.
Ternyata, Bas tidak seburuk dugaan kami. Ia jauh lebih buruk. Ia memang bertahan dengan Vin selama hampir tiga bulan, namun tabiatnya sungguh tak terpuji. Belum lagi seminggu menjadi sepasang kekasih, Bas sudah berani menyakiti Vin. Hanya karena masalah sepele saja, Bas tega menampar, menjambak, atau menendang Vin.
”Maafkan aku Vin,” begitu Vin mengulangi rengekan Bas tak lama setelah peristiwa itu, ” Aku tahu tak sepantasnya memperlakukanmu seperti itu. Maafkan aku, Vin. Jangan tinggalkan aku. Aku benar-benar mencintaimu. Aku berjanji takkan mengulanginya lagi.”
Maka, demi cintanya pada kekasih pertamanya itu, Vin pun memaafkan Bas. Jika saja kejadian sama tak kembali terulang, kalau saja Bas tak merengek-rengek memohon maaf pada Vin, jika saja Vin tak terlalu bodoh untuk mempercayai ucapan Bas lagi, kami pasti akan bisa merasa lega.
”Plakk!!” suara tamparan yang sangat keras menyadarkanku dari lamunan tentang persahabatan kami. Mataku menatap nanar Lia. Tampaknya ia yang baru saja menampar Vin. Aku melihat San mendekap erat tubuh Vin yang semakin hebat bergetar. Air mata juga menggenang di mata San.
Kami hanya terdiam melihat Lia tanpa berlama-lama langsung naik ke sepeda motornya dan memacunya meninggalkan kami. Kuputuskan meminta Pak Min, supir kepercayaan keluargaku, untuk mengantar San dan Vin pulang. Tak lama setelahnya, giliranku yang diantar kembali ke rumah. Aku membenamkan diri di jok mobil. Bila punya pilihan, sebenarnya aku lebih senang bila tak perlu lagi menginjakkan kaki di rumahku yang belakangan ini suasananya mirip neraka.
[2]
Baru saja aku tiba di rumah, suara pertengkaran ayah dan ibu lagi-lagi menyergapku hingga rasa muak terasa begitu menyesakkan. Aku tak tahu siapa yang benar dan siapa yang salah. Yang aku tahu, mereka sama-sama pongah dan merasa dirinya paling benar.
Ibuku berkata bahwa ayah terlalu egois dan selalu sibuk dengan bertumpuk-tumpuk pekerjaan hingga tak pernah punya waktu untuk keluarga. Namun, pernahkah terpikir bahwa semua itu dilakukan ayah agar dapat memenuhi kebutuhan ibu yang hampir setiap bulannya selalu membuat kelimpungan dengan tagihan kartu kreditnya yang melampaui batas? Bukan kebutuhan sebenarnya, hanya keinginan.
Ayah menganggap ibu pemboros dan tak becus mengurus keluarga. Tapi, pernahkah terlintas di pikirannya bahwa itu semua karena ia menikahi ibu bahkan sebelum sempat menamatkan pendidikan di jenjang SMA? Jika ayah mau bersabar sedikit saja, mungkin ibu akan lebih terpelajar serta cakap dalam banyak hal.
Tanpa bersuara, aku menyelinap masuk ke dalam kamarku. Dering telepon genggamku tiba-tiba memecah keheningan yang begitu damai di hatiku.
"Maafkan aku. Apakah aku mengganggu?” suara Lia terdengar berbeda. Suaranya seperti sedang memendam beban yang sulit tertanggungkan.
“Tidak apa-apa,” sahutku, “Ada yang mengganggu pikiranmu?”
“Kamu selalu bisa menebak pikiranku, Indah. Ada yang ingin kuceritakan padamu.”
"Ada apa sebenarnya, Lia? Ucapanmu membuatku merinding.”
“Kamu masih ingat tentang Aldi?”
“Tak mungkin aku lupa. Ia laki-laki pertama yang pernah kamu cintai, sekaligus laki-laki pertama yang pernah membuatmu meneteskan air mata.”
"Namanya Aldina.”
“Apa maksudmu?” kini aku benar-benar merasa bingung.
“Namanya Aldina. Ia seorang perempuan, bukan laki-laki.”
“Maksudmu kamu....” aku tak sanggup melanjutkan kalimatku.
“Ya. Aku seorang lesbian. Apakah kamu membenciku?” suara Lia kini terdengar bergetar menahan perasaannya. Aku tahu pasti tak mudah baginya untuk mengungkap rahasia itu.
“Sama sekali tidak. Aku tetap sahabatmu. Aku yakin Vin dan San pasti akan bersikap sama sepertiku.”
“Jangan katakan apa-apa pada mereka. Aku belum siap membiarkan lebih banyak orang tahu bagaimana aku sebenarnya.”
Hening sejenak. Hanya hembusan napas Lia yang terdengar dari seberang sana. Walau sekarang sebuah kebenaran telah terungkap, takkan ada yang berubah. Lia tetap sahabatku, sahabat kami semua.
“Begitu berat beban yang harus ditanggung Lia,” pikirku dengan mata terpejam, “Bukan saja karena ia perempuan, tapi juga karena ia mencintai sesama perempuan. Tapi, tak apalah. Kami akan selalu ada untuknya seperti ia selalu ada untuk kami sampai saat ini.”
[3]
Matahari belum lagi teringat akan keangkuhannya yang biasa tampak di tengah terik ketika sebuah ketukan lembut pada pintu kamarku menyadarkan aku dari perangkap sang mimpi.
“Ya....” suaraku masih terdengar parau, “Ada apa?”
“Mbak Indah, ada yang mau bertemu,” sahut Mbok Nem dari balik pintuku, “Katanya teman Mbak Indah.”
“Indah, maafkan aku. Tak ada maksudku mengganggu waktu istirahatmu,” ternyata San yang sedang menunggu di ruang keluarga.
“Tak apa. Aku sudah terbangun setengah jam yang lalu,” aku terpaksa berdusta agar tak membuatnya merasa bersalah.
Belum lagi sempat lebih jauh mengemukakan apa yang ada dalam pikirannya, aku melihat San meneteskan air mata. Ada apa gerangan?
“Sebenarnya ada apa, San?” bisikku lembut, sambil membelai pundaknya.
“Kemarin aku pergi berkuda dengan pamanku,” suara San begitu lirih hingga nyaris tak terdengar.
“Bukankah berkuda adalah kegemaranmu?” tanyaku keheranan.
“Kami berkuda hampir seharian,” terbata-bata San melanjutkan ceritanya tanpa menghiraukan keherananku, “Semuanya begitu menyenangkan. Tapi....”
“Tapi apa, San?” aku benar-benar tak sabar sekarang.
“Ketika akan mandi, aku mendapati bercak-bercak darah di celana dalamku. Aku takut, Indah,” air mata San kembali menderas tak tertahankan.
Kini aku sudah mengerti mengapa San menangis. San khawatir bercak darah itu menandakan selaput daranya terkoyak. Ia takut tidak perawan lagi.
“Sudahlah, San. Jangan terlalu dipikirkan,” aku mencoba menghiburnya.
“Bagaimana aku bisa tidak memikirkannya, Indah? Bagaimana jika selaput daraku benar sudah koyak? Aku akan disangka perempuan murahan yang mengobral tubuhku ke sembarang lelaki!” San kini benar-benar tak dapat lagi menguasai dirinya.
Aku tak tahu harus berucap apa lagi untuk menenangkan San. Dalam hati aku mengutuk dunia yang tak adil pada perempuan. Bila seorang lelaki tidak perjaka lagi, ia akan disebut jantan, petualang cinta, penakluk wanita, atau julukan lain yang sungguh membesarkan hati. Namun, jika seorang perempuan kehilangan keperawanannya, ia akan dicap murahan, kotor, hina, dan banyak lagi yang menyakitkan hati. Padahal, perempuan itu bisa saja kehilangan keperawanannya karena diperkosa atau cedera akibat berolah raga. Aku merasa dunia begitu gemar menghakimi perempuan.
[4]
“Ayah dan ibu akan segera bercerai,” ucapan ibu benar-benar mengejutkanku, “Ibu tak tahan lagi harus terus hidup seperti ini.”
“Mengapa?” desisku hampir tak mempercayai pendengaranku sendiri.
“Ibu rasa kamu tak perlu tahu alasannya. Kamu masih terlalu muda untuk dapat memahami rumitnya kehidupan. Yakinlah takkan ada yang berubah, sayang. Ayah dan ibu tetap menyayangimu seperti dulu. Kamu tak akan pernah kehilangan kami. Hanya saja kami tak bisa hidup bersama lagi,” kata-kata itu meluncur begitu cepat dari mulut ibu, seakan telah sekian lama dipersiapkan, “Sebelum kami saling menyakiti, lebih baik semuanya diakhiri. Ini yang terbaik bagi kita semua.”
Terbaik! Aku sungguh tak mengerti bagaimana perpisahan bisa jadi yang terbaik. Aku melarutkan diri dalam kebisuan. Tak kudengarkan lagi sederetan penjelasan ibu yang malah mengaburkan semuanya. Aku tahu ia hanya mencari pembenaran dan bukannya ingin memberi kebenaran. Maka, tanpa banyak bicara, kutinggalkan ibu yang kini memekik memanggil namaku.
Malam akhirnya tiba juga. Sudah lelah rasanya aku menghabiskan waktu bersimbah air mata sendirian di kamar. Lia datang paling awal, disusul Vin dan San yang tiba hampir bersamaan. Setelah mereka semua masuk ke dalam kamarku, kututup pintu rapat-rapat. Aku tak ingin ada sesuatu pun yang mengganggu kami. Semua harus selesai di sini malam ini.
“Aku ingin semuanya terbuka. Jangan ada yang disembunyikan lagi. Jujurlah, agar kita dapat saling mendukung dan menguatkan. Seperti yang selama ini kita lakukan,” ucapku mencoba menahan rasa pilu yang tiba-tiba terasa mencekik.
Hening lagi. Tak ada seorang pun yang mau memulai. Semuanya hanya menunduk dan sibuk dengan pikirannya masing-masing. Bahkan Lia yang biasanya selalu gamblang dan terbuka pun kini seolah kehilangan kata-kata.
“Baiklah!” walau berat akhirnya aku merasa harus mengakhiri kebisuan kami, “Ayah dan ibuku akan segera bercerai. Keluargaku, yang dulu kuyakini akan menaungiku hingga aku siap menapaki kedewasaanku, tak lama lagi akan terpecah-belah.”
“Aku punya kekasih yang gemar menampar, menjambak, dan menendangku. Aku tahu ia takkan berubah. Aku tahu tak seharusnya mempertahankan hubungan kami lebih lama lagi. Tapi, aku begitu menyayanginya. Aku butuh kalian semua untuk membantuku. Aku tak sanggup bila sendirian,” tangis Vin kini lebih mirip gapaian memohon pertolongan. Aku benar-benar tak menyangka ia akan punya cukup keberanian untuk mengakui bahwa Bas bukanlah lelaki yang baik.
“Aku takut telah kehilangan keperawananku. Aku benar-benar takut akan kehilangan masa depanku juga,” kini San yang angkat bicara. Meski terbata-bata dan bergetar oleh ketidakpastian yang harus dihadapi, tapi aku yakin dia bisa tegar menghadapinya.
“Aku seorang lesbian. Aku tak tahu mengapa dan bagaimana aku bisa seperti ini, tapi memang inilah aku sesungguhnya. Aku mohon kalian jangan membenciku atau berubah sikap padaku. Aku benar-benar tak ingin kehilangan sahabat-sahabat seperti kalian!” akhirnya Lia tak lagi ragu mengungkap rahasia yang selama ini begitu membebaninya. Aku melihat tetesan bening menggenang di pelupuk matanya.
“Aku harus tegar!” ucapku di sela-sela tangis yang menganak sungai, “Aku masih punya banyak cita-cita yang ingin kuraih. Aku harus bertahan walau sepahit apa pun hidupku nanti.”
“Aku harus terus melangkah dan melupakan lelaki yang hanya membawa kepedihan dalam hidupku!” seru Vin lirih, “Aku yakin pasti bisa menemukan seorang laki-laki yang tulus menyayangiku dan akan melindungiku selamanya.”
“Aku harus tetap memiliki masa depan! Aku bukanlah perempuan murahan yang harus malu pada diriku. Pasti ada seseorang yang akan bisa menerimaku apa adanya,” suara San kini memendam keyakinan yang mampu menguatkannya.
“Aku harus belajar menerima diriku dan semua yang kurasakan! Aku memang takkan jadi seperti perempuan lain, tapi akan kutunjukkan pada semua orang bahwa aku bisa meraih kebahagiaan dengan apa adanya diriku.” ujar Lia mantap.
Kami memang perempuan. Orang lain boleh berkata apa saja tentang kami, menyebut kami lemah, cengeng, dan mudah menyerah. Tapi, kami akan tunjukkan bahwa kami tetap bisa bertahan walau sekeras apa pun hidup menjepit kami. Kami pasti bisa, karena kami perempuan.
Penulis Indonesiana
0 Pengikut
Perempuan dan Perempuan
Rabu, 8 Desember 2021 10:18 WIBBaca Juga
Artikel Terpopuler