Pembuktian

Senin, 29 November 2021 05:51 WIB
Bagikan Artikel Ini
img-content0
img-content
Iklan
Dukung penulis Indonesiana untuk terus berkarya

Semua hal di dunia ini butuh bukti yang konkret agar kita percaya bukan? Sebenarnya ada dua pilihan percaya dengan orang lain atau kita sendiri yang mencari bukti itu

                            Pembuktian

 

Iklan
Scroll Untuk Melanjutkan

         Matahari mulai meninggi di atas kepala, membuat tubuhku banjir peluh. aku sedang duduk termangu di terminal Tanah Abang .Meratapi daganganku yang masih banyak,nasib kali ini tidak bisa setor lagi.Namaku Joko seorang pedangan asongan diterminal Tanah Abang,yang setiap hari selalu setia menjajakan daganganku kesemua orang yang berlalu lalang di hadapanku.

Hari sudah malam,angin yang dingin menusuk tulang membuatku bergidik.kurogoh saku celana yang sudah lusuh ,untung saja tidak bolong.Hasilnya mengecewakan ,hanya ada beberapa lembar uang dua ribuan di sana.Aku menghembuskan napas kecewa,kulangkahkan kaki menuju trotoar didepan sana ,tiba tiba ada yang memukul pundakku sontak aku kaget."Eh mas Joko gimana emas jualannya laris?"tanya Rendi teman seperjuanganku,"dapat sedikit"kataku.Rendi hanya menatap iba.

Matahari mulai terbit,aku terburu-buru keluar dari rumah.Sebenarnya entah masih layak disebut rumah atau tidak.Dinding hanya berlapiskan tripleks,beratapkan terpal,dan beralaskan kardus ditempat yang aku sebut rumah itulah aku berteduh.Sebenarnya aku adalah perantau yang mengadu nasib dari Jakarta.Hanya bermodal kertas bertuliskan hitam besar "Ijazah" yang dilaminating rapi.Aku hanya punya ijazah sd,walau aku pernah mengenyam pendidikan di SMP .Bukannya aku tidak lulus, aku berhenti di kelas 8 dan memandang ijazah itu tidak penting,yang penting hanya kita terampil dan berani mengambil risiko.Dengan prinsip itulah aku melawan orangtuaku yang sangat menginginkan aku lanjut sekolah.

Saat aku ingin pergi ke Jakarta orangtuaku sangat marah kepadaku terutama bapak.Memang untuk anak umur 14 tahun aku tergolong berani untuk pergi ke Jakarta sendiri.Jujur ibuku sangat berat hati melepasku,dia memintaku untuk berpikir kembali.Saat itu aku melihat wajah bapak yang terlihat menahan malu.Tentu saja, Kakakku lulusan Sarjana pendidikan yang saat ini mengajar di sekolah favorit di daerahku dahulu,sedangkan saudaraku bekerja sebagai dokter,perawat,tentara,semuanya mempunyai gelar dibelakang namanya.

 Saat aku SMP dahulu, guru-guru selalu membandingkan nilai ku dengan kakak.Sontak hal itu membuatku marah dan menjadi brutal sekali disekolah.Aku sering dipanggil ke BK untuk ikut bimbingan bersama murid yang mereka cap sebagai anak nakal.

Suatu sore yang aku sangat ingat bahkan sampai sekarang adalah ketika bapak memarahi aku karena nilaiku yang rata-rata jelek.Sampai bapak mengatakan aku bukan anaknya, karena dahulu kakakku tidak pernah dapat nilai seburuk itu.mulai dari sore itulah aku didaftarkan les .Tentu aku menolaknya ,jika aku les waktu bermain sore akan berkurang banyak.Bapak yang mendengar alasanku sontak memukulku , tetapi terhalang ibu yang terlebih dahulu mendekapku.

Sebenarnya aku sangat rindu ibu,tetapi bagaimana akan pulang uang pun tak ada.Tetapi jika aku pulang pun apakah bapak dan ibu mau menerima aku kembali yang beberapa tahun silam melawan mereka dengan gagahnya.Aku sungguh menyesali keputusanku waktu itu.

Saat ini aku masih bertanya-tanya akan prinsipku dahulu,tetapi mengapa itu tidak berlaku untuk aku.Sedangkan pak Edi tetanggaku dahulu hanya lulusan sd tetapi bisa memiliki rumah,mobil, motor, dan barang mewah lainnya.Mengapa aku tidak bisa sepertinya malah aku sudah merantau jauh sekali ke jakarta,tentu pengalamanku lebih banyak.Tentang keterampilan aku bisa mengayam rotan , menjahit, dan membuat seni yang lain.Tetapi,saat aku ingin mendaftar di salah satu toko kerajinan dikawasan Monas aku ditolak hanya karena aku lulusan sd.

Sekarang aku kembali mengasong di terminal tanah Abang.Hiruk pikuk penumpang yang berdesakan menaiki bus,takut sekali jika Sampai tertinggal dan tak jadi pulang kampung bertemu sanak saudara.Kuedarkan pandanganku semua arah sambil menawarkan dagangan, tetapi yang aku dapat hanya lambaian tangan lemas.Tiba-tiba lelaki paruh baya mendatangiku, Alhamdulillah rezeki ,batinku.Ternyata lelaki tadi adalah preman di terminal ini ,sontak semua uang yang aku dapatkan dari pagi diambil lelaki tadi.Aku hanya bisa menghela napas,kaki aku terasa lemas.

Malamnya terminal mulai sepi,sudah tidak ada orang yang berlalu lalang.Hal ini menandakan aku harus pulang dengan uang seadanya."mas ada air mineral gak? "tanya lelaki yang tiba-tiba muncul dibelakangku,"eh ada pak, mau berapa?" Kataku.lelaki itu berkata satu saja sambil menyerahkan uang 100 Ribu."Wah gaada kembaliannya nih pak"kataku ,ya sudah ambil saja.

Lelaki itu sangat baik, terlihat dari raut wajahnya yang teduh walau sudah mulai menua.Dia bertanya banyak hal tentang aku ,sampai aku bercerita tentang bagaimana aku bisa terdampar di Ibu kota yang luas ini.Lelaki itu hanya tersenyum mendengar ceritaku,entah itu lucu atau mengejek."Kau berani sekali nak"katanya sambil tersenyum, tentu saja itu semua demi membuktikan prinsip yang dahulu aku pegang.Aku merantau sejauh ini,untuk mencari jawaban atas prinsipku.

Sedangkan lelaki itu hanya menanggapi ceritaku dengan senyuman lagi."Kau masih terlalu muda saat itu untuk mengerti semua kehidupan ini"kata lelaki itu yang akhirnya menimpali ceritaku."Tak semua dapat menjalankan prinsip yang kau punya kecuali kau membuktikannya sendiri kan,ayo kita buktikan prinsipmu itu.

Aku mengikuti langkah kaki panjangnya ke sebuah warung sate dipinggir jalan raya."Kau bisa membuat satai?"tanya lelaki itu ,Tentu saja aku bisa ,dahulu saat idul adha aku sering membantu ibuku membuat satai.Aku menyanggupi permintaanya,dengan cekatan aku mulai membuat satei,kuingat kembali cara ibu waktu pertama mengajari aku dahulu.Setelah selesai aku langsung memberikan sate yang telah kumasak kepada lelaki itu,enak katanya.

Ternyata lelaki paruh baya itu pemilik warung sate dipinggir jalan ini.Namanya Cak Heri,dia juga perantau sepertiku bedanya dia sudah mempunyai bisnis yang menjanjikan.Cak Heri menawariku untuk bekerja padanya sebagai pedagang sate keliling,katanya satai buatanku jauh lebih enak daripada yang dia buat.Tentu saja aku terima penawaran Cak Heri ,mungkin alih profesi ini tidak buruk.

Ternyata menjadi pedagang sate keliling tidak semudah dugaanku,sudah tengah hari saja hanya satu dua orang yang membeli.Melihat hal itu,esoknya Cak Heri memberikan contoh bagaimana cara berdagang agar cepat laris.Melihat Cak Heri berjualan aku melihat poin yang tidak ada pada diriku,yaitu bersungguh sungguh dan tidak mudah mengeluh.

            Dekat dengan Cak Heri membuatku menyadari bahwa prinsip yang aku pegang selama ini adalah salah.Jika kita hanya terampil dan berani mengambil risiko maka tujuan kita tak akan tercapai ,butuh kesungguhan,kerja keras,dan strategi usaha untuk mencapai semuanya.Serta pendidikan yang layak juga diperlukan agar kita dapat mengembangkan usaha serta berpikir kritis dalam menghadapi masalah.

           Belajar dari semua itu aku mulai mempraktekkan apa yang Cak Heri lakukan.Terbukti satai yang aku jual selalu habis,aku mulai menabung untuk memulai usaha sendiri,tentu Cak Heri sangat mendukung keputusanku.Selang beberapa tahun aku sudah mempunyai Restoran satai sendiri, sayangnya saat peresmian Cak Heri sudah meninggal.Namun,ilmu yang Cak Heri berikan selalu aku ingat dan tak akan aku lupakan.

         

Bagikan Artikel Ini
img-content
Tia Rohana

Penulis Indonesiana

0 Pengikut

img-content

Pembuktian

Senin, 29 November 2021 05:51 WIB
img-content

Melawan Takdir

Senin, 29 November 2021 05:49 WIB

Baca Juga











Artikel Terpopuler

Artikel Terbaru

img-content
img-content
img-content

test

Rabu, 17 Juli 2024 08:22 WIB

img-content
img-content
Lihat semua

Terkini di Fiksi

img-content
img-content
img-content
img-content
img-content
Lihat semua

Terpopuler di Fiksi

Lihat semua