Teh Hangat Sebelum Mandi

Senin, 29 November 2021 05:44 WIB
Bagikan Artikel Ini
img-content0
img-content
Iklan
Dukung penulis Indonesiana untuk terus berkarya

Perjuangan seorang suami yang ditinggal selamanya oleh istri tercinta karena virus Covid-19. Luka adalah hal biasa yang suatu ketika akan sembuh. Luka sebagai suami saat ini adalah disebabkan rindu pada sosok cantik disegala musim. Sosok istrinya, Listi sangat memahaminya. Tak semudah hilang dalam ingatan. Melekat, meresap walau Listi sudah tak bersamanya.

TEH HANGAT SEBELUM MANDI

 

            Hari hampir tengah malam dan belum ingin kupejamkan mata ini. Sebagai lelaki aku benci tangisan. Sukses menjadi lelaki yang tegar di tengah keramaian. Tak demikian jika malam tiba, seolah-olah segala pertahanan bobol. Jika akhirnya ada tangisan, tetaplah tangisan lelaki, seperlunya saja. Tak boleh terdengar oleh Banyu yang tertidur pulas di ranjang ataupun baby Jagad yang juga pulas di box bayi persis di depanku.

Iklan
Scroll Untuk Melanjutkan

            Banyu berumur 5 tahun yang sedang aktif-aktifnya dan Jagad yang baru saja 10 bulan. Mereka menjadi rambu-rambu yang mengatur hidupku. Tanpa orang menghiburku pun aku tahu kalau aku harus menjadi manusia kuat. Semakin banyak dan derasnya ucapan duka cita justru melemahkanku. Mereka berniat baik menghiburku, tetapi justru ucapan duka cita membuatku teringat kembali pada Listi, almarhumah istriku. Pergi selamanya meninggalkan harta dan masa depanku yang paling berharga, Banyu dan Jagad. Meski kesedihan ini belum usai juga berhenti pada setiap malam yang sunyi. Sunyi melangkah menapaki keberlanjutan hidup sampai jatah waktuku habis disertai tanggung jawabku. Kepergian Listi 5 bulan lalu masih saja membuatku saat ini ingin bertemu. Ikhlas adalah suatu perjuangan panjang.

            Aku melangkah keluar kamar. Menuju sofa ruang tengah. Baru tahu kalau rindu itu memang menyiksa, sesuatu yang biasa kudapatkan dari Listi hilang, lenyap. Lima bulan berlalu belum usai juga lingkaran kehilangan pada diriku dan belum berhsil kuusir. Covid-19 telah merengut nyawa Listi secara tiba-tiba. Entah bagaimana bisa menyerang Listi pada saat sisi lengahnya muncul. Listi sangat disiplin menjaga kami, menyiapkan semua keperluan protokol kesehatan covid-19. Listi juga selalu memasak, menyiapkan segala keperluan karena aku harus tetap bekerja secara offline. Listi jarang keluar rumah dan menjaga Banyu dan Jagad dengan baik. Listi telah melaksanakan tugas dan kewajiban sebagai istri dengan sangat baik.

           

             Aku sangat kehilangan. Tuhan telah memanggilnya kembali. Ini sungguh pedih. Aku sedang belajar menjadi orang tua tunggal untuk Banyu dan Jagad. Mengantarkan mereka seperti harapan aku dan Listi. Sofa ini tempat diskusi berdua merajut harapan masa depan. Berharap dan akan berusaha menjadikan 2 jagoan manusia harapan bangsa yang berkualitas yang dapat memberikan kontribusi untuk bangsa ini.

            Kubuka buku agenda kantorku. Kuraih ballpoint di meja dan mulai menulis. Sekedar menumpahkan kesedihanku.

            Namamu. Listi,

            Sangat indah, abadi tertera dalam sejarah hidupku

            Pertemuan denganmu, Listi

            Selalu menerawang disetiap sudut waktu, sunyi….

            Aku tahu betapa beratnya tanpamu

            Tak ingin kesedihan ini tiada berkesudahan

            Tuhan, tolonglah aku

            Kutak ingin ketidakrelaan tak berbatas waktu

            Ikhlaskanlah hatiku menerima ketetapanmu

            Kuatkanlah aku terus berjuang

            Membesarkan dan mendidik dua jagoanku

            Menuju masa depan menggapai harapan

 

           Aku berwudhu dan kembali ke kamar. Kurebahkan badanku di sebelah Banyu. Perlahan kupejamkan mata. Tak akan kubiarkan kesedihan ini menguasai seluruh hatiku. Tak akan kubiarkan dua jagoanku meratapi takdir. Akan kubisikkan semangat untuk melanjutkan hidup dan meraih harapan. Akupun tertidur.

 

           Pagi hari diawali tangisan Jagad. Aku beranjak bangun dari tempat tidur. Mengganti diaper Jagad, menggendongnya. Meletakkan Jagad disamping Banyu yang masih pulas. Merapihkan boxnya dan meletakkan kembali ke box.

          “Papa sholat dulu, ya. Jagad pinter. Main dulu sendiri.” Kuputar mainan yang tergantung di atas box. Kupenuhi kewajibanku dan kembali menemani Jagad setelahnya.

          Jagad sudah mulai ngoceh dengan bahasa bayinya. Kubuatkan susu dan kurespon sebaik mungkin dan kukatakan padanya kalimat-kalimat positif. Tapi tidak kusampaikan padanya tentang ibunya yang telah tiada. Selain Jagad belum mengerti bahwa dia telah piatu sejak bayi 5 bulan, akan membuatku kembali teringat segala memori tentang Listi.

          Listi, sore itu mengeluh diare disertai demam. Saat itu sedang masa-masanya serangan kedua Covid-19 di Indonesia. Rumah sakit penuh. Kami berinisiatif melakukan tes antigen. Hasilnya Listi positif dan aku positif. Kukabarkan kepada orang tuaku yang tinggal beberapa blok dari rumah kami. Kami mengikuti anjuran melakukan tes PCR, orang tuaku, adikku dan anak-anakku. Hasilnya hanya kami berdua yang positif.

          Biasa saja saat itu. Orang tuaku membawa Banyu dan Jagad sementara pindah rumah. Aku bersama Listi tetap di rumah kami. Beda kamar, berjarak, bermasker. Masing-masing punya area sendiri. Tapi, tak bisa kubiarkan kami berjarak. Aku mendampinginya untuk segala keperluannya. Aku biasa saja tak bergejala. Listi semakin lemah, suatu saat tidak masuk makanan ataupun minum. Kami meminta bantuan Satgas Covid-19. Mereka mencarikan rumah sakit.

          Akhirnya kami mendapat rumah sakit dan kamar. Listi harus isolasi di rumah sakit. Listi mengalami sesak nafas ditambah Listi ada riwayat asma. Bunga rampai memori satu-satu diputar. Tiba-tiba sekujur tubuhku lunglai. Aku merasa bahwa dari akulah penyebab Listi terserang Covid-19. Lengahnya ada padaku.

        “Pa. Aku mau susu!”. Aku tersentak kaget dengan suara Banyu yang baru bangun membuyarkan layar memori yang terputar.

         “Oke, Papa buatkan susu. Kakak segera solat terus temenin adek dulu, ya!” kataku dan segera ke dapur. Banyu menjawab ocehan-ocehan Jagad.

          Aku kembali ke kamar. Banyu sedang bermain dengan adiknya. Kudengar bel pintu berbunyi. “Minum susunya! Papa buka pintu dulu. Itu pasti nenek dan tante yang datang.” Kataku memberikan susu pada Banyu dan beranjak membuka pintu.

         “Nenek! Tante!” Banyu menghampiri ibuku dan adikku di pintu. Aku memperhatikan mereka. Banyu sangat dekat dengan nenek dan tantenya yang rutin setiap hari datang. Menemani, memasak, dan mengurus Banyu dan Jagad dibantu asisten tidak menginap. Sementara ayahku WFH di rumah dan ibuku akan bolak-balik. Terkadang, Banyu dan Jagad dibawa ke rumah ibu.

         “Tante siap-siap kuliah online dulu, ya. Banyu sama nenek dulu!” kata adikku sambil buru-buru buka laptop di meja makan.

         Banyu menghampiri adikku. “Banyu sekolah jam 8 kan, Tante?” tanyanya.

        “Betul. Seratus. Nanti Tante bantu bukain zoomnya jam 8. Oke!”

        “Oke, tante.” Banyu beranjak ke neneknya yang menggendong Jagad.

         Rutinitas keseharian setelah Listi pergi. Ibu dan adikku pulang pergi ke rumahku saat pagi hingga aku telah kembali bekerja. Bergegas aku bersiap ke kantor. Sarapan dan prokes.

            Aku memilih makan siang di ruangan. Kubuka bekal yang disiapkan ibuku dari rumah. Tak sekalipun Listi menyalahkanku karena Covid-19 sampai akhir hayatnya. Tiba-tiba saja aku merasa sangat bersalah. Aku mempunyai keyakinan bahwa akulah penyebab tertularnya Listi terkena Covid-19. Kalau ingat kejadian itu, aku menjadi merasa sangat bersalah. Tak mampu menjaganya karena lengah.

            Aku pulang malam waktu itu karena banyak deadline yang harus diselesaikan. Aku merasa sangat lelah apalagi di kereta Jakarta – Bogor tidak sempat memejamkan mata. Listi menyambutku waktu itu dan menawarkanku segelas teh hangat dan memintaku mandi terlebih dahulu. Waktu itu aku menolak mandi dan bersikeras melanjutkan pekerjaan di ruang kerja. Listi menemaniku dan membawakan teh hangat yang tadi ditawarkan. Kami minum teh berdua di ruang kerja.

           Aku menghela nafas menyesal. Penyesalan yang baru saja kumulai setelah 5 bulan kejadian. Barangkali, aku telah membawa virus itu dari tempat kerja, dalam perjalanan Jakarta – Bogor di kereta, atau dari stasiun ke rumah. Kami minum teh berdua sebelum kami mandi. Listi juga mandi, tetapi mungkin virus itu telah lebih dulu hinggap ditubuhnya. Bodohnya aku.

            Aku merasa capek menyetir Bogor – Jakarta PP. Kuputuskan naik kereta karena saat itu sedang ada deadline. Aku berpikir tidak semua orang masuk kerja, kecuali seperti aku terkait pelayanan publik. Aku merasa bersalah tidak menuruti Listi untuk segera mandi. Kemungkinan Listi terkena virus Covid-19 tanpa kami sadari saat menemaniku deadline. Manusia tempatnya lupa. Listi yang biasa disiplin lebih memilih menemaniku malam itu.

            Akulah penyebab Banyu dan Jagad piatu. Aku merasa yakin akulah penyebabnya. Setelah kejadian deadline, 1 – 2 minggu kemudian Listi diare disertai demam dan hasil tes positif Covid-19. Aku baru memahami ini setelah bunga rampai memori satu demi satu sebelum Listi pergi kuputar kembali.

            Sesak dada ini. Aku ingin melanjutkan hidup dengan tenang. Aku izin pulang kantor lebih cepat. Kuarahkan tujuanku ke makam Listi. Kusiapkan seikat bunga mawar merah kesukaannya. Barangkali harumnya akan sampai padanya. Dulu, matanya berbinar-binar saat kubawakan bunga mawar untuknya.

            Kulangkahkah kakiku menuju tempat peristirahatan terakhirnya. Aku jongkok, kusiram air mawar membasuh tanah pusaranya. Kuletakkan mawar merah pada tanah dekat nisan bertuliskan namanya. Kupanjatkan doa terbaik untuknya.

            “Listi. Aku tak tahu kamu bisa mendengarku atau tidak. Aku berdoa semoga Tuhan menyampaikan permintaan maafku padamu. Seharusnya, aku menurutimu untuk mandi saat itu. Minum teh kemudian mandi, bukan melanjutkan deadline. Maafkanlah, kalau aku yang menjadi penyebab kepergianmu begitu cepat. Aku berjanji akan menjaga anak-anak dan mengantarkan mereka menjadi orang bermanfaat dan berkualitas. Akan kujaga mereka dari virus dengan tetap menerpkan hidup sehat dan gaya hidup yang sehat. Seperti yang selama ini kamu upayakan. Maafkan.”

            Kuseka air mata ini dengan tissue yang telah kusiapkan. Kuusap nisannya. Kutinggalkan pemakaman. Kusemprot bajuku dengan desinfektan. Kuganti maskerku dengan yang baru dan membasuh tanganku dengan handsanitizer. Kuarahkan kendaraanku membelah kota, menuju rumahku.

            Hujan bulan November membasahi Bogor. Deras. Sederas kolektif memori yang hadir saat bersama Listi. Luka adalah hal biasa yang suatu ketika akan sembuh. Lukaku saat ini adalah disebabkan rindu pada sosok cantik disegala musim. Listi sangat memahamiku. Tak semudah hilang dalam ingatan. Melekat, meresap walau Listi sudah tak bersamaku.

            Akan kukosongkan bagian hatiku untuk mengenangmu. Sekaligus akan kuselesaikan hatiku dari hal-hal yang mengganggu. Perasaan bersalah, mengutuki diri dan menyalahkan diri terus menerus. Aku akan bercerita dihadapan orang tua dan adikku. Tidak mengapa dihadapan Banyu dan Jagad juga. Berterus terang tentang kelalaianku. Aku mencoba menerima takdir, tetapi sesungguhnya takdir itu bukan menjadikan manusia tidak semangat dan tidak berusaha. Semangat dan berjuang melanjutkan hidup. Kejujuran dan mengakui sebuah kesalahan adalah cara yang kupilih melanjutkan hidup.

 

Bogor, November 2021

Farhah Faridah

Bagikan Artikel Ini
img-content
Farhah Faridah

Penulis Indonesiana

0 Pengikut

img-content

Teh Hangat Sebelum Mandi

Senin, 29 November 2021 05:44 WIB

Baca Juga











Artikel Terpopuler

Artikel Terbaru

img-content
img-content
img-content

test

Rabu, 17 Juli 2024 08:22 WIB

img-content
img-content
Lihat semua

Terkini di Fiksi

img-content
img-content
img-content
img-content
img-content
Lihat semua

Terpopuler di Fiksi

Lihat semua