Hipokrit
Minggu, 28 November 2021 16:33 WIB
Air liurku menetes.
Dia hanya seorang diri di rumah saat kudatangi sore itu. Kutekan bel rumahnya dan seorang satpam keluar dari pos penjaga. Kuperlihatkan kartu pers yang kusimpan dalam tas. Aku tidak terlalu suka memakainya di luar jam kerja. Satpam itu pun pergi entah ke mana, mungkin memberi tahu majikannya. Beberapa menit kemudian dia kembali dan membukakan gerbang.
“Ditunggu di ruang tamu Mas,” katanya.
Saat melewati pagar, terlihat sebuah taman dengan banyak bonsai. Terdapat tiga mobil terparkir di depan garasi yang tertutup, kemungkinan ruangnya sudah tidak muat sampai harus disimpan di luar. Rumahnya, rumah batu. Lantai terbuat dari marmer. Saat memasuki ruang tamu, akan terlihat lemari jam ukiran jepara dipajang di sudut ruangan. Luas ruangan ini seukuran lapangan voli. Di dinding ruang terpajang lukisan-lukisan dari pelukis terkenal Indonesia. Terlihat dari nama yang tertera di ujung kanan bawah kanvas. Kursi dan mejanya juga terbuat dari kayu jati.
Tidak seperti warga dari Desa Meita yang rumahnya hanya terbuat dari papan dan kursi penyambut tamu dari plastik. “Setelah kehilangan pekerjaan, mungkin warga di sana akan tidur di luar karena rumah habis dimakan rayap dan tak ada uang untuk membeli papan,” pikirku.
***
Namanya Pak Fandi, pemilik tambang batu bara yang sedang menjadi sorotan di kalangan masyarakat Desa Meita, Kabupaten Ka. Dia muncul dari ruang tengah dan tersenyum padaku. Aku yang tengah duduk, langsung berdiri bersalaman dengannya. Tubuhnya tinggi, tegap, dan berdada bidang terlihat dari baju kemejanya yang ketat. Janggut, kumis, dan cambangnya dicukur rapi. Rambutnya lurus disibak ke kanan. Kabar yang beredar usianya baru 28 tahun. Setelah kami duduk kembali, kuperkenalkan diri dengan memperlihatkan kartu pers. Tujuan kunjunganku hari ini untuk berdiskusi. Sengaja tak kupakai atribut dari kantor, agar tidak terlihat mencolok.
***
Saat kunjunganku Senin lalu ke Desa Meita, kelihatan banyak warga yang batuk-batuk, bahkan longgo[1] yang mereka ludahkan sampai berwarna hitam. Kutemui seorang remaja yang sedang mengganti atap rumah yang sudah berkarat. Kulitnya putih, mata agak sipit, badan tegap, bibir kering, rambut lurus tersibak ke kanan. Namanya Bio, anak pemilik rumah yang kudatangi. Dia langsung turun ketika kukatakan mau melakukan wawancara.
“Lagi mau bongkar rumahkah, Dek?” ucapku basa-basi.
“Tidak, hanya ganti atap ji ini, Kak. Atap satu tahun ji bertahan, itu debu batu bara bikin cepat berkarat, kasian. Mana tidak ada ganti rugi kita dapat,” jawab Bio dengan logat Tolaki[2] yang kental.
“Masyarakat memang tidak melapor?”
“Sudah mi juga kita lapor hae, di pihak itu, lingkungan. Tapi ndada ji ini kasian yang turun tangan. Padahal ini, kita bangun pagi kasian, batuk terus kita dapat,” ujarnya
“Jadi tidak ada tindakan lanjut ini dari pihak yang terkait, Dek?”
“Ai, kita mau tutup mi ini jalan, supaya nda masuk lagi alat berat.”
Setelah melakukan wawancara bersama dengan Bio, kuputuskan untuk mengulik informasi lebih banyak dari pihak desa. Pukul 10.00 WITA, aku tiba di Kantor Desa Meita. Posisinya berada di sebelah balai desa. Di samping kiri, kanan, dan belakang terdapat tambak ikan dan udang. Sekretaris desa menyambutku dengan senyum, saat kuberi salam di depan pintu. Kujelaskan perihal kedatanganku hari itu. Beliau sangat antusias mendengar kalau aku adalah seorang wartawan. Dengan sedikit membungkuk, beliau mengarahkan agar aku menuju ke ruang Pak Kepala Desa.
Kepala desa itu bernama Syahban. Dari perawakannya terlihat seperti laki-laki yang sudah berkepala tiga. Mukanya lebar, terdapat tahi lalat di hidungnya yang pesek. Sekitar 30 menit kami berbincang. Masyarakat desa sedang menderita. Dari keterangannya, sekitar lima orang telah meninggal dengan gejala yang sama, batuk-batuk dan sesak nafas. Sama seperti yang kulihat sebelumnya. Debu dari tambang batu bara menyesakkan dada. Pihak puskesmas juga sudah berusaha semaksimal mungkin. Di desa seperti itu, fasilitas kesehatan sangat tidak memadai. Untuk pergi ke rumah sakit terdekat juga perlu waktu dua jam. Namun, alasan yang begitu sering mereka ucapkan adalah uang kami hanya dihabiskan untuk berobat. Pekerjaan tidak memadai dan banyak kebutuhan yang perlu dipenuhi. Hal yang dilakukan pihak tambang hanyalah membagikan masker dan alat tensi darah. Itu pun hanya sekali. Tidak berpengaruh, karena maskernya hanya sekali pakai. Selain kesehatan, pasokan air bersih juga menjadi tanggung jawab pihak tambang karena desa ini masuk wilayah mereka. Tetapi tidak setetes pun mereka terima.
“Kalau kami tidak menjual tanah, mungkin kami masih bisa bernafas lega,” Ujar Syahban
“Mari, Dek, saya ajak ke tambak. Tempat masyarakat biasa kerja”.
Kami keluar dari kantor menuju ke belakang. Pemandangannya indah. Airnya tampak jernih. Terdapat beberapa tambak yang berbentuk kotak. Di sebelah barat, tambak berbatasan dengan jalan raya. Jika melihat ke sebelah timur dapat terlihat bangunan dari perusahaan tambang yang berbatasan dengan sebuah hutan. Tiba-tiba Syahban menunjuk pada sebuah truk besar warna putih pengangkut batu bara yang lewat di samping tambak.
“Lihat Dek, itu debu-debunya bertebangan. Itu mi yang buat sesak dan mengendap juga di air. Susah hidup ikan. Belum lagi mereka bongkar muatan di pelabuhan muara. Tercemar mi itu airnya. Mana satu aliran dengan ini tambak kasian.”
Setelah diperhatikan lebih dekat, memang banyak debu batu bara yang mengendap di atas air.
“Jadi, bagaimana itu, Pak? Tidak melapor ke pihak lingkungan hidup?”
“Sudah juga, tapi belum turun petugas.”
Setelah mengelilingi tambak, kuputuskan untuk berpamitan kepada Syahban dan kembali kantor.
***
“Jadi bagaimana Dek?” tanya Pak Fandi, membuyarkan khayalan tentang perjalanan kemarin.
“Saya hanya ingin berdiskusi sebentar,” jawabku disusul dengan senyum yang lebar.
“Mau diskusi tentang apa?”
“Saya lihat perkembangan perusahaan tambang batu bara yang Bapak buat di Kabupaten Ka berkembang pesat ya. Di usia muda bagaimana bisa sukses begini?”
“Usahalah Dek. Saya bekerja keras untuk ini semua. Tapi memang relasi dibantu oleh orang tua juga. Bapak saya kan memang pebisnis. Saya sudah mulai merintis karir saat S-1 di teknik pertambangan dan bisa berkembang sampai sekarang merupakan hasil keringat dan jerih payah saya.”
“Saya dengar bukan hanya di Kabupaten Ka saja, ya, Pak?”
“Ada beberapa di Kalimantan, di sana bukan tambang tapi kelapa sawit,”
“Wah, luar biasa. Mantap sekali ternyata. Muda, pekerja keras, tampan lagi. Pasti banyak yang nempel.” sanjungku.
Dia hanya tertawa saat kusanjung. Seorang asisten rumah tangga muncul dari ruang tengah dengan membawa teh hangat dan potongan kue bronis. Suasana menjadi begitu cair. Sepertinya dia bukan pencinta kopi.
“Kemarin, ada media online yang mengangkat kasus di Desa Meita. Dan sepertinya itu masuk di wilayah tambang Bapak. Gimana tuh, Pak?”
“Ya, itu juga merusak nama baik, padahal selama ini tidak ada ji mereka protes.”
“Bisa sebenarnya ini Pak, dibuatkan berita sebaliknya. Pernah juga ada kasus begini. Saya diminta buatkan berita tandingannya. Bapak kan punya banyak prestasi. Pasti ada sumbangsih kepada Desa Meita.”
“Betul itu. Kalau bukan karena saya, mungkin jalan di sana tidak diaspal.”
“Kemarin saya habis dari sana lihat-lihat. Mereka terima ji bantuan”
“Nah, itu juga. Padahal sudah kami beri, masih juga protes. Bisakah kamu buatkan juga saya berita tandingan untuk ini.”
“Oh, bisa Pak.”
Tidak menunggu lama, Pak Fandi mengeluarkan uang dari dompetnya, yang kemudian disodorkannya kepadaku. Saat kuhitung jumlahnya, ternyata sebanyak 500 ribu. Uang itu kemudian kuselipkan dalam kantong celana.
“Ini hanya uang muka saja, sisanya saya transfer kalau beritanya sudah terbit. Ini kartu nama saya. Kalau sudah selesai, bisa kontak saya via whatsapp.”
“Oke. Baik pak, aman.” Jawabku dengan semangat.
Sepertinya bapak itu cukup mudah diajak kerja sama. Rencanaku berhasil. Setelah berpamitan, kukembali ke kantor dan mulai menulis.
Untuk berita kali ini akan kuberi judul “Kemajuan Desa Meita, Disokong Pihak Tambang.” Untuk isi beritanya akan kubuat pernyataan bahwa Desa Meita hanya mencari kesalahan pengelola tambang agar memberikan ganti rugi, padahal mereka hanya kehabisan uang karena kondisi pandemi. Kumasukkan pernyataan bahwa subsidi air beserta masker dan bantuan kesehatan lainnya telah mereka terima. Buktinya, mereka benar-benar menerima masker, walaupun hanya sekali. Untuk air, kan mereka masih bisa minum dan mandi sampai sekarang. Berarti air bersih tersedia di sana.
Ya, yang seperti ini biasalah. Ada pro dan kontra. Menjadi hal lumrah jika muncul berita tandingan. Mereka juga tidak bisa protes. Sebagai wartawan aku punya hak untuk menulis apa pun dan dilindungi oleh undang-undang. Masalah di belakang tidak ada yang tahu. Tidak ada yang lihat, kok. Aku tetap aman. Paling Pak Fandi saja yang menjadi sorotan. Kalau ada yang bertanya mengapa? Ya, mau bagaimana lagi. Akhir bulan selalu menghampiri. Ingin makan enak tapi finansial tidak menunjang. Belum lagi kredit motor dan biaya kos yang perlu dibayar.
Untuk kesekian kalinya aku menawarkan diri jadi boneka seperti itu. Karena pekerjaan yang kutekuni saat ini gajinya tak seberapa, jalan ini menjadi tidak begitu buruk.
ah…, air liurku menetes.
[1] Dahak dalam bahasa Tolaki
[2] Tolaki adalah salah satu etnis di Sulawesi tenggara yang memiliki bahasa dan dialek tersendiri
Baca Juga
Artikel Terpopuler