Pemimpin Pilihan Iklan

Senin, 9 November 2020 06:19 WIB
Bagikan Artikel Ini
img-content0
img-content
Iklan
img-content
Dukung penulis Indonesiana untuk terus berkarya

Jumlah iklan di media menjelang Pilkada melonjak. Para Calon menjadikan iklan di media sebagai instrumen mengenalkan dirinya ke publik. Tapi publik paham iklan-iklan politik itu cenderung hiperbolik. Bahkan para paslon itu kerap mengimplementasikan dirinya sebagai dewa penyelamat. Tapi iklan adalah cara. Sementara otentisitas kepemimpinan adalah sebuah proses. Publik yang sadar akan melihat pemimpin otentik dari keseluruhannya dan menghitung plus-minusnya. Bukan dari iklan!

 
Adalah suatu yang istimewa ketika menjelang Pilkada, jumlah iklan di media melonjak, Para calon yang akan ikut bertarung dalam pesta demokrasi (daerah ) biasanya (selalu) menjadikan iklan di media sebagai instrumen untuk mengenalkan dirinya kepada publik.
 
Dan itu adalah sebuah langkah yang sah dan tidak ada salahnya. Tentunya tujuannya agar publik mengenal sosoknya sehingga populeritasnya pun tereskalasi. Walaupun popularitas tidak berbanding lurus dengan elektabilitas. Paslon memerlukan pencitraan agar publik atau pemilih terpikat dengan dandanan mareka yang mareka sampaikan lewat iklan di media sehingga mendapat legitimasi atau dukungan pada hari H-nya di TPS.
 
Dari pengertian iklan menurut Sigit Santosa dalam buku Creative Advertising dan jika padukan dengan politik, maka iklan politik adalah taktik penyampaian pesan, baik pesan verbal (visi dan misi) maupun pesan verbal (foto diri) melalui media yang didesain sedemikian rupa secara komunikatif guna menarik hati masyarakat atau audience. Iklan politik biasanya disampaikan oleh kelompok orang yang tergabung dan ada sangkut pautnya dengan partai politik tertentu.
 
Periklanan politik adalah periklanan citra atau jati diri, daya tarik atau diarahkan untuk membangun reputasi seseorang pejabat publik atau pencari jabatan. Iklan ini menginformasikan pada banyak orang mengenai kualifikasi seorang politisi, latar belakang, pengalamannya, dan kepribadiannya. Sehingga diharapkan menjadi dorongan bagi prospek pemilihan calon/kandidat yang bersangkutan dalam proses politik.

Pada sisi lain ditengah kondisi ekonomi yang belum membaik, respon kita sebagai publik tentunya  berupa pertanyaan tentang berapa besar biaya yang dikeluarkan untuk iklan dan dananya dari mana? Walaupun kita pahami bahwa demokrasi langsung itu sangat mahal biayanya.
 
Iklan-iklan politik yang ditayangkan para paslon membuat publik atau rakyat pemilih menatapnya bak lautan janji yang sangat semarak. Walaupun publik paham bahwa iklan-iklan politik yang tersaji amat hiperbolik. Bahkan terkadang kalau bukan janji para pengiklan politik seolah mengimplementasikan dirinya sebagai " dewa penyelamat " yang bisa menyelesaikan masalah yang dihadapi rakyat.
 
Iklan-iklan politik yang disampaikan para aslon lewat media bahkan baliho yang berjejeran sepanjang jalan bukanlah jaminan mutu (istilah sebuah iklan obat anti nyamuk dulu) bagi paslon dalam meraup simpati masyarakat dan publik. Publik dengan kecerdasannya tidak akan mudah tertipu dengan serangkaian iklan atau pencitraan lewat media. Tingginya tingkat pendidikan publik semakin mempengaruhi tingkat pilihannya pada sosok pemimpin.
 
Publik dengan tingkat kecerdasannya kini seolah tidak akan mudah terprovokasi pada gincu-gincu iklan politik yang ditawarkan para Paslon di media. Apalagi kita paham tidak semua media mampu menjangkau kondisi demografis publik. Publik telah menjadikan rekam jejak Paslon sebagai bagian dari pilihannya. Dan itu terlihat dari berbagai pesta demokrasi yang telah berlalu dimana rekam jejak Paslon akan sangat mempengaruhi pilihan rakyat.
 
Pada sisi lain bukan berarti paslon yang hobi mengiklan diri di media bukan pemimpin pilihan sejati rakyat pemilih atau publik. Iklan adalah cara. Sementara otentisitas kepemimpinan adalah sebuah proses. Pemimpin yang otentik terlihat dari track recordnya yang panjang. Publik yang sadar akan melihat pemimpin otentik dari keseluruhannya dan menghitung plus minusnya.
 
Secara ekstrem pemimpin otentik tidak dibuat-buat. Apalagi lewat iklan media. Seorang pemimpin mampu merespon banyak masalah secara tepat dan akurat melalui aneka langkah yang indah dan jitu. Dengan demikian kepemimpinan otentik bersifat komprehensif dan holistik. Pemimpin otentik adalah manusia pembelajar.
 
Pada sisi lain harus diakui kita sebagai publik dan pemilih kadangkala lemah dalam menimbang dan memilih pemimpin yang otentik. Namun sebagai rakyat kita tak dapat disalahkan mengingat terbatasnya pilihan yang tersodorkan kepada kita dalam pesta demokrasi. Ada sebagian dari kita yang terpaksa memilih pemimpin baik diantara yang paling baik atau yang dianggap baik diantara yang tidak baik.
 
Sementara itu  harus kita akui bahwa pendidikan politik harus terus digencarkan agar publik makin berkualitas dalam pilihannya ditengah iklim politik demokrasi langsung. Jangan menyesal setelah pemimpin terpilih secara demokrasi. Jangan ada.
 
Media pun harus bertanggungjawab dan berperan dalam proses pendidikan politik bagi publik dengan terus kritis dan mencerahkan publik. Iklan-iklan politik di media silahkan ditayangkan, tetapi ulasan dari media harus mencerdaskan publik. Bukankah fungsi dan peran media itu mencerdaskan publik. Ayo kita memilih. Salam Junjung Besaoh.
 
Toboali, 8 November 2020
 

Bagikan Artikel Ini
img-content
Rusmin Sopian

Penulis Indonesiana

0 Pengikut

img-content

Birokrasi Pasca Pilkada

Sabtu, 23 Januari 2021 15:12 WIB
img-content

Cerpen | Sang Jurnalis

Senin, 25 Januari 2021 07:20 WIB

Baca Juga











Artikel Terpopuler

Artikel Terbaru

img-content
img-content
img-content

test

Rabu, 17 Juli 2024 08:22 WIB

img-content
img-content
Lihat semua

Terkini di Analisis

img-content
img-content
img-content
img-content
Lihat semua

Terpopuler di Analisis

Lihat semua