Belajarlah Sejarah
Jumat, 29 November 2019 11:53 WIBProblematika penulisan sejarah pertama-tama bukan dikarenakan ada dan tidak adanya data, melainkan bermula dari tujuan, sikap, dan niat penulisnya. Sudut pandang dalam melihat sebuah peristiwa akan menentukan bagaimana sejarah tentang peristiwa itu ditulis.
“Belajarlah sejarah,” kata Sukmawati ketika sebagian warga masyarakat menyarankan agar ia ‘belajar agama’ seusai kontroversi tentang ucapannya yang membandingkan Bung Karno dengan Nabi Muhammad SAW mencuat di muka publik. “Apakah belajar agama itu tidak mencakup di dalamnya belajar sejarah?” begitulah pertanyaan yang muncul di benak saya—maka melintaslah kisah-kisah tentang kejatuhan Rumawi, Persia, kekuasaan raja-raja yang pongah dan jumawa, perjuangan para budak memerdekakan diri, kesakitan panjang yang diderita seorang nabi, hingga asal-usul manusia dan semesta. Ketika manusia diperintahkan agar berjalan di muka bumi, maka jejak-jejak historis itulah yang hendak ditunjukkan agar manusia dapat belajar darinya.
Sejarah yang kita tulis adalah catatan tentang masa lampau yang dianggap penting oleh manusia, mulai dari sejarah dirinya sendiri, keluarga dan kerabat, masyarakat, bangsa, hingga manusia. Dianggap penting bukan sekedar untuk dikenang, tapi untuk dipelajari apa yang ada di dalamnya: keberhasilan, kegagalan, semangat, keterpurukan, kejayaan, bencana, pengkianatan, dan seterusnya. Ketika penulis sejarah menganggap penting suatu peristiwa, berarti ia telah memilih dan memilah.
Ketika dihadapkan pada masyarakat bangsa yang bersifat lebih lokal, sejarah menyimpan problematikanya sendiri. Sejarah mana yang harus kita pelajari? Sejarah yang menyanjung heroisme figur-figur yang kita anggap sebagai pahlawan atau sejarah yang juga mencatatkan secara jujur peran rakyat kecil dalam berbagai perjuangan memerdekakan bangsa ini dari kolonialisme? Tidak seorangpun figur yang dianggap heroik dalam sejarah sanggup berdiri sendiri—ia membutuhkan rakyat, jika bukan sebagai pendukung ya sebagai korban dari sikap dan tindakannya.
Dalam setiap peristiwa, niscaya terdapat beragam versi sejarahnya. Tiap-tiap penulis mungkin punya versinya sendiri dengan dukungan data yang ia punya dan analisis yang ia lakukan. Banyak faktor menciptakan batas-batas yang mengurangi keleluasaan penulis sejarah dalam menuangkan apa yang ia pikirkan tentang sebuah peristiwa.
Sebagian penulis sejarah akan memusatkan perhatian pada aspek tertentu dan mengabaikan aspek yang lain. Ia tidak mungkin mulai semua hal meskipun barangkali ia menginginkannya. Ini keterbatasan yang secara alamiah berpotensi merintangi impiannya, sekalipun bila banyak sejarawan berkolaborasi dalam menulis peristiwa historis tertentu.
Bahkan jika si penulis punya kepentingan tertentu atau mengusung agenda tertentu, bukan tidak mungkin ada fakta sejarah yang disembunyikan dan fakta sejarah lainnya akan ditonjolkan lebih dari semestinya. Sejarah versi pemerintah bisa berbeda dari sejarah versi sejarawan yang mandiri.
Problematika penulisan sejarah pertama-tama bukan dikarenakan ada dan tidak adanya data, melainkan bermula dari tujuan, sikap, dan niat penulisnya. Sudut pandang dalam melihat sebuah peristiwa akan menentukan bagaimana sejarah tentang peristiwa itu ditulis. Bahkan sudut pandang itu pun dapat dibengkokkan oleh kepentingan tertentu—kepentingan penulisnya sendiri ataupun kepentingan orang lain yang dipaksakan kepada penulis.
Teks sejarah lebih dari sekedar fakta-fakta yang dirangkai, melainkan perspektif yang lebih berperan dalam membingkai fakta-fakta itu, sekalipun bila seluruh fakta dihadirkan. Figur historis tertentu mungkin tampak bersih di mata seorang penulis, tapi bagi penulis yang lain ia bukanlah manusia sempurna. Sejarah orang-orang besar sesungguhnya tidak luput dari kisah tentang ketidaksesuaian antara yang digambarkan atau dipersepsikan orang dengan realitasnya. Fakta sejarah yang berpotensi mengurangi ‘kesempurnaan’ seorang figur sejarah cenderung dihindari untuk dibicarakan, dilupakan, tidak ditulis, dimaafkan, atau dianggap tidak ada. Atau, seandainya fakta itu ditulis, ia akan dibingkai dalam kerangka yang membuat pembacanya memahami bahwa memang begitulah yang seharusnya terjadi. Belajar sejarah pada akhirnya memerlukan kesabaran, kecermatan, dan kerendahhatian dengan selalu ingat bahwa sejarah tulisan manusia bukanlah kebenaran 100%. >>
Penulis Indonesiana
0 Pengikut
Hasil Survei Pilpres yang Ngeri-ngeri Sedap
Jumat, 29 Desember 2023 14:00 WIBDebat tentang Etika, Elite Politik Saling Mempermalukan
Kamis, 21 Desember 2023 12:31 WIBBaca Juga
Artikel Terpopuler