Upaya Mendiskreditkan TNI
Sabtu, 27 April 2019 20:06 WIBPOTENSI konfik dan ramai-ramai" menjelang Pemilu 2019 tidak bisa dianggap enteng. Potensi itu, riil bahkan cukup besar, menurut prediksi saya.
POTENSI konfik dan ramai-ramai" menjelang Pemilu 2019 tidak bisa dianggap enteng. Potensi itu, riil bahkan cukup besar, menurut prediksi saya. Sepanjang tahun 2018, misalnya, ditandai kian panas dan eskalatifnya “serangan psywar" dari berbagai pihak, terutama melalui media sosial. Konten "serangan psywar” juga semakin gila, bahkan cenderung fitnah serta dalam bentuk hoax.
Kubu 02, tampaknya, sudah me- masuki tahap "to be or not tobe” Pokokne kita harus menang, Jokowi harus ditumbangkan. Kalau tuk hoax. perlu, at all cost!
Tudingan demi tudingan - yang kerapkali tidak berdasar sama sekali -dilemparkan begitu saja tanpa diolah dulu faktualitasnya oleh Tim Sukses. Misalnya, dikatakan oleh Prabowo bahwa tingkat buta huruf rakyat Indonesia sangat tinggi, bahkan melebihi tingkat buta huruf di sejumlah negara Afrika, termasuk Haiti.Padahal Haiti bukan di Afrika. Berdasarkan data Unesco, tingkat buta huruf di negara kita amat rendah, bakan lebih rendah dari Hungaria.
Ada pula “sinyalemen" telah ditemukan 7 (tujuh) kontainer asal RRT yang berisikan puluhan juta surat suara yang sudah dicoblos. Edan sekali. Kalau pun betul ada "peristiwa edan" itu, bagaimana surat-surat suara itu nanti dipergunakan waktu pencoblosan? Bukankan pada Hari-H, semua bilik suara dijaga oleh saksi-saksi dari partai-partai politik peserta pemilu? Bukankah waktu penghitungan suara pun, para saksi aktif mengawasinya?
Teknologi elektronik yang kian canggih semakin memperkecil ruang main curang di semua proses Pemilu. KPU sudah mengeluarkan bantahan keras atas berita ini, bahkan mendesak Polri untuk mengusut pihak yang membuat hoax ini untuk diambil tindakan.
Memasuki tahun 2019 Prabowo juga melemparkan “bom” panas berupa tudingan bahwa, menurut informasi yang diperolehnya, pihak RSCM Jakarta menggunakan selang cuci darah untuk 40 pasien. Direksi RSCM langsung mengeluarkan bantahan atas sinyalmen calon presiden 02 itu, sekaligusmemberikan penjelasan tentang proses cuci-darah yang dijalankan oleh pasien di rumah sakit.
Perang urat-saraf memang bertujuan, terutama, untuk melemaskan saraf dan menimbulkan ketakutan atau kecemasan khalayak. Akibatnya, masyarakat marah dan menghantam pihak yang menjadi target psywar.
Kecuali psywar, potensi konfik fisik menjelang Pemilu 2019 juga riil, terutama di kantong - kantong suara tertentu. Jawa Tengah disebut-sebut salah satu “hot spot”, sehingga melahirkan akronim “Joglosemar” alias Yogya-Solo-Semarang. "Joglosemar” dikabarkan saat ini nyaris dikuasai kelompok-kelompok garis keras. Rumor ini bisa saja memprovokasi para pendukung calon presiden 01 untuk bersiap-siap bertempur juga! Mungkin karena itu, kubu Prabowo sudah memindahkan markas besarnya ke Jawa Tengah, bahkan konon tidak jauh dari rumah kediaman Joko Widodo.
Teori yang disebarkan: untuk memenangkan Indonesia dalam Pemilu, Jawa harus direbut. Nah, untuk merebut Jawa, Jawa Tengah dulu yang harus ditaklukkan .
Tentu kita semua berharap Pemilu 2019 berlangsung aman-aman dan damai. Toh, pembaca jangan lupa dalam politik, segala kemungkinan bisa terjadi. Tidak ada yang mustahil dalam politik. Apa lagi Amien Rais selaku Ketua Dewan Kehormatan Partai Amanat Nasional sudah mendengungkan lagu top hit Elvis Presley “it is now or never” yang mengandung makna "Sekarang Prabowo merebut kursi RI-1, atau karier Prabowo tamat selamanya!.
Tanpa meremehkan peran Polri, jika potensi konflik berubah menjadi konflik kebenaran dalam Pemilu 2019, hanya TNI yang mampu mencegah dan memadamkannya. Semua pihak dalam Pemilu niscaya percaya akan kebenaran ini. TNI lebih afdol lagi, sinergi TNI dengan Polri, yang mampu menjamin Pemilu 2019 aman dan damai.
Karena peran TNI yang sangat krusial, wajar jika dewasa ini sudah bermunculan upaya-upaya untuk melemahkan, atau mendiskreditkan TNI dengan cara yang tidak berbeda: menyebarkan kabar bohong, fitnah, adu-domba dan sejenisnya.
Pengangkatan Letnan Jenderal TNI Doni Monardo sebagai Kepala Badan Nasional Penanggulangan Bencana (BNPB), misalnya, dikatakan langkah pemerintah Jokowi “menamatkan” karier militer yang bersangkutan.
Doni sebelumnya menjabat Sekeretaris Jenderal Dewan Pertahanan Nasional. Kenapa Pati TNI yang berkarier cemerlang, termasuk pemah menjabat Komandan Kopassus, Komandan Paspampres dan Pangdam Pattimura itu tiba- tiba “disipilkan" dan ditempatkan di BNPB? Penundaan pelantikan Doni oleh Presiden disebut-sebut tindakan pelecehan terhadap Perwira Tinggi berbintang 3 itu, apalagi Doni disebut-sebut “orang SBY” karena pernah menjabat Komandan Paspampres.
Berita seperti ini bisa saja memprovokasi sejumlah kawan Doni untuk melancarkan silent protest, apalagi Panglima TNI berasal dari Angkatan Udara, apalagi kalau pengganti Doni di Wantanas nanti berasal dari TNI Angkatan Udara.
Yang lebih hebat lagi, pasca serangan brutal OPM terhadap karyawan PT Istaka Karya di Kabupaten Nduga, muncul berita burung yang mengatakan pasukan TNI menggunakan senjata kimia dalam melancarkan serangan balasan terhadap kelompok OPM yang melakukan pembantaian terhadap karyawan Istaka Karya.
Bagaimana personel TNI bisa menggunakan senjata kimia dalam operasi militernya, padahal sampai hari ini TNI tidak memiliki senjata kimia? Kami pun geleng-geleng kepala membaca ada media Australia yang membenarkan sinyalemen penggunaan senjata kimia oleh TNI di Nduga.
Australia memang sudah lama kerap menyerang negara kita. Sekitar 10 tahun yang lalu bocor "buku putih" Australia yang memasukkan Indonesia sebagai negara yang berbahaya bagi keamanan negara kanguru itu. Seorang kawan saya yang "ahli Australia" mengatakan, Australia punya kepentingan bisnis di Indonesia: selama kita tetap membeli sapi-sapi Australia dalam jumlah besar, kita takkan “diganggu” oleh Australia. Tapi, begitu Menteri Pertanian Amran Sulaeman mulai mengurangi impor sapi dari Australia karena melihat sapi-sapi Brazil tidak kalah kualitas dagingnya dari sapi Australia, Australia mulai menggong-gong negara kita!.
Ada satu insiden lagi yang nyaris membuka “front perpecahan” di internal TNI, yaitu “aksi cowboy” di jalan raya seorang oknum Angkatan Udara berpangkat Sersan Dua yang menembak anggota TNI AD berpangkat Letkol hingga tewas. Peristiwa ini jelas kejahatan kriminal yang harus diselesaikan di depan hukum pula. Toh, ada juga pihak-pihak yang mencoba memainkan peristiwa ini ke ranah politis. Masih untung, pimpinan TNI, termasuk Menteri Pertahanan Ryamizard Ryacudu yang dengan cepat meredam isu-isu burung, sehingga upaya membelokkannya ke ranah politik gagal total.
Di hari-hari dekat ini, kita percaya ada pihak-pihak tertentu yang berusaha terus mendiskreditkan TNI, terutama oleh mereka yang bernafsu sekali menggoyang-goyang NKRI, bahkan bermimpi membentuk negara agama di Nusantara, karena TNI memang benteng terkuat dan siap mati untuk mempertahankan NKRI, Pancasila dan UUD 1945
by Prof. Tjipta Lesmana
Penulis Indonesiana
0 Pengikut
Pentingnya Kedewasaan Berdemokrasi untuk Kemenangan Bersama!
Selasa, 16 Juli 2019 02:55 WIBGerakan Mahasiswa Nilai 'People Power' Tak Berguna
Minggu, 12 Mei 2019 21:38 WIBBaca Juga
Artikel Terpopuler